TANGKUBAN PERAHU
Pada jaman dahulu kala, di tatar Parahyangan, berdiri sebuah
kerajaan yang gemah ripah lohjinawi kerta raharja. Tersebutlah sang
prabu yang gemar olah raga berburu binatang, yang senantiasa ditemani
anjingnya yang setia, yang bernama "Tumang".
Pada suatu ketika sang Prabu berburu rusa, namun telah seharian
hasilnya kurang menggembirakan. Binatang buruan di hutan seakan lenyap
ditelan bumi. Ditengah kekecewaan tidak mendapatkan binatang buruannya,
sang Prabu dikagetkan dengan nyalakan anjing setianya "Tumang" yang
menemukan seorang bayi perempuan tergeletak diantara rimbunan
rerumputan. Alangkah gembiranya sang Prabu, ketika ditemukannya bayi
perempuan yang berparas cantik tersebut, mengingat telah cukup lama
sang Prabu mendambakan seorang putri, namun belum juga dikaruniai anak.
Bayi perempuan itu diberi nama Putri Dayangsumbi.
Alkisah putri Dayngsumbi nan cantik rupawan setelah dewasa
dipersunting seorang pria, yang kemudian dikarunia seorang anak
laki-laki yang diberi nama Sangkuriang yang juga kelak memiliki
kegemaran berburu seperti juga sang Prabu. Namun sayang suami
Dayangsumbi tidak berumur panjang.
Suatu saat, Sangkuriang yang masih sangat muda belia, mengadakan
perburuan ditemani anjing kesayangan sang Prabu yang juga kesayangan
ibunya, yaitu Tumang. Namun hari yang kurang baik menyebabkan perburuan
tidak memperoleh hasil binatang buruan. Karena Sangkuriang telah
berjanji untuk mempersembahkan hati rusa untuk ibunya, sedangkan rusa
buruan tidak didapatkannya, maka Sangkuriang nekad membunuh si Tumang
anjing kesayangan ibunya dan juga sang Prabu untuk diambil hatinya,
yang kemudian dipersembahkan kepada ibunya.
Ketika Dayangsumbi akhirnya mengetahui bahwa hati rusa yang
dipersembahkan putranya tiada lain adalah hati "si Tumang" anjing
kesayangannya, maka murkalah Dayangsumbi. Terdorong amarah, tanpa
sengaja, dipukulnya kepala putranya dengan centong nasi yang sedang
dipegangnya, hingga menimbulkan luka yang berbekas. Sangkuriang merasa
usaha untuk menggembirakan ibunya sia-sia, dan merasa perbuatannya
tidak bersalah. Pikirnya tiada hati rusa, hati anjingpun jadilah,
dengan tidak memikirkan kesetiaan si Tumang yang selama hidupnya telah
setia mengabdi pada majikannya. Sangkuriangpun minggat meninggalkan
kerajaan, lalu menghilang tanpa karana.
Setelah kejadian itu Dayangsumbi merasa sangat menyesal, setiap hari
ia selalu berdoa dan memohon kepada Hyang Tunggal, agar ia dapat
dipertemukan kembali dengan putranya. Kelak permohonan ini terkabulkan,
dan kemurahan sang Hyang Tunggal jualah maka Dayangsumbi dikaruniai
awet muda. Syahdan Sangkuriang yang terus mengembara, ia tumbuh penjadi
pemuda yang gagah perkasa, sakti mandraguna apalgi setelah ia berhasil
menaklukan bangsa siluman yang sakti pula, yaitu Guriang Tujuh.
Dalam suatu saat pengembaraannya, Sangkuriang tanpa disadarinya ia
kembali ke kerajaan dimana ia berasal. Dan alur cerita hidup
mempertemukan ia dengan seorang putri yang berparas jelita nan menawan,
yang tiada lain ialah putri Dayangsumbi. Sangkuriang jatuh hati kepada
putri tersebut, demikianpula Dayangsumbi terpesona akan kegagahan dan
ketampanan Sangkuriang, maka hubungan asmara keduanya terjalinlah.
Sangkuriang maupun Dayangsumbi saat itu tidak mengetahui bahwa
sebenarnya keduanya adalah ibu dan anak. Sangkuriang akhirnya melamar
Dayangsumbi untuk dipersunting menjadi istrinya.
Namun lagi lagi alur cerita hidup membuka tabir yang tertutup,
Dayangsumbi mengetahui bahwa pemuda itu adalah Sangkuriang anaknya,
sewaktu ia melihat bekas luka dikepala Sangkuriang, saat ia membetulkan
ikat kepala calon suaminya itu.
Setelah merasa yakin bawa Sangkuriang anaknya, Dayangsumbi berusaha
menggagalkan pernikahan dengan anaknya. Untuk mempersunting dirinya,
Dayangsumbi mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi Sangkuriang
dengan batas waktu sebelum fajar menyingsing. Syarat pertama,
Sangkuriang harus dapat membuat sebuah perahu yang besar. Syarat kedua,
Sangkuriang harus dapat membuat danau untuk bisa dipakai berlayarnya
perahu tersebut.
Sangkuriang menyanggupi syarat tersebut, ia bekerja
lembur dibantu oleh wadiabalad siluman pimpinan Guriang Tujuh untuk
mewujudkan permintaan tersebut. Kayu kayu besar untuk perahu dan
membendung sungai Citarum, ia dapatkan dari hutan di sebuah gunung yang
menurut legenda kelak diberi nama Gunung Bukit Tunggul. Adapun ranting
dan daun dari pohon yang dipakai kayunya, ia kumpulkan disebuah bukit
yang diberi nama gunung Burangrang.
Sementara itu Dayangsumbi-pun memohon sang Hyang Tunggal untuk
menolongnya, menggagalkan maksud Sangkuriang untuk memperistri dirinya.
Sang Hyang Tunggal mengabulkan permohonan Dayangsumbi, sebelum
pekerjaan Sangkuriang selesai, ayampun berkokok dan fajar menyingsing.
Sangkuriang murka, mengetahui ia gagal memenuhi syarat tersebut, ia
menendang perahu yang sedang dibuatnya. Perahu akhirnya jatuh
menelungkup dan menurut legenda kelak jadilah Gunung Tangkubanparahu,
sementara aliran Sungai Citarum yang dibendung sedikit demi sedikit
membentuk danau Bandung.
DANAU TOBA
Pada zaman dahulu kala, ada seorang pemuda yang bernama Toba, ia
yatim piatu dan bekerja sebagai petani di bagian utara pulau Sumatera.
Daerah tersebut sangatlah kering. Selain bertani terkadang Toba suka
memancing dan menangkap ikan (Dalam terminology orang Batak disebut
mandurung, yang artinya menangkap ikan dengan cara menjaring).
Hingga pada suatu hari ia pergi mandurung. Sudah setengah hari ia
melakukan pekerjaan itu namun tak satu pun ikan di dapatnya. Karena
hari sudah mulai gelap maka Toba pun bergegas hendak pulang ke rumah.
Namun tanpa sengaja ia melihat seekor ikan yang besar dan indah, ikan
itu berwarna kuning emas.
Toba menangkap ikan besar itu dan dengan segera membawanya pulang.
Sesampainya di rumah karena sangat lapar maka ia hendak langsung
memasak ikan itu, namun saat melihat ikan indah itu, dia pun
mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk memeliharanya. Lalu Toba
menaruhnya di sebuah wadah yang besar dan memberi ikan tersebut makanan.
Keesokan harinya seperti biasa, ia pergi bertani ke ladangnya, dan
hingga tengah hari ia pun pulang ke rumah dengan tujuan hendak makan
siang. Tetapi alangkah terkejut dirinya, ketika melihat didalam
rumahnya telah tersedia masakan yang siap untuk dimakan dan tampak
terhampar beberapa keping uang emas. Ia sungguh terheran heran. Lama ia
berpikir siapa yang melakukan semua itu, tetapi karena perutnya sudah
lapar akhirnya ia pun menyantap dengan lahap masakan tersebut.
Kejadian ini pun terus berulang-ulang. Setiap kali ia pulang hendak
makan, masakan demi masakan telah terhidang di rumahnya. Hingga pemuda
tersebut mempunyai siasat untuk mengintip siapa yang melakukan semua
itu.
Keesokan harinya Toba mulai menjalankan siasatnya. Seperti biasanya,
dia berangkat dari rumah, seakan mau pergi ke lading. Lalu, ia
tiba-tiba melompat dan mulai bersembunyi diantara pepohonan dekat
rumahnya. Lama ia menunggu, hingga akhirnya begitu ia ingin keluar dari
persembunyiannya, ia melihat mulai ada asap di dapur rumahnya. Dengan
perlahan ia berjalan menuju kebelakang rumahnya untuk melihat siapa
yang melakukan semua itu.
Toba sangat terkejut ketika ia melihat ada seorang wanita yang
sangat cantik dan berambut panjang sedang memasak didapur rumahnya.
Toba menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri
dihadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat perempuan
secantik itu.
Diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan
besar yang telah didapat oleh Toba disungai. Kemudian dijelaskan pula
bahwa beberapa keping uang emas yang terletak didapur itu adalah
penjelmaan sisiknya.
Hingga pada suatu hari Toba si petani melamar perempuan tersebut
untuk jadi istrinya. Perempuan itupun ternyata menyatakan bersedia
menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa
seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal-usul istrinya
penjelmaan dari ikan. setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah
mereka.
Setahun kemudian, mereka dikarunia seorang anak laki-laki yang
mereka berinama Samosir. Anak itu sangat dimanjakan ibunya yang
mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas.
suatu hari, anak itu disuruh ibunya mengantarkan nasi keladang untuk
ayahnya. Akan tetapi ditengah jalan, sebagian nasi dan lauk-pauknya di
makan sang anak. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal
sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, sang ayah sudah
merasa sangat lapar maka Toba jadi sangat marah ketika melihat nasi
yang diberikan kepadanya hanya sisa-sisa.
Amarah Toba semakin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang
memakan sebagian besar dari nasi itu. Kesabarannya sang ayah jadi
hilang dan dia pukuli anaknya sambil mengatakan.”Anak yang tidak bisa
diajar. Tidak tahu diuntung, Betul-betul kau anak keturunan perempuan
yang berasal dari ikan”
Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya dirumah.
Kepada ibunya dia adukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua cercaan yang
diucapkan ayahnya kepadanya dia ceritakan pula. mendengar cerita
anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah
melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada
anaknya itu.
Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang
terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu
tertinggi yang terdapat dipuncak bukit itu. tanpa bertanya lagi, si
anak Samosir segera melakukan perintah ibunya. dia berlari-lari menuju
kebukit tersebut dan mendakinya.
Lalu sang ibu berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya
dari dari rumah mereka. Ketika dia tiba ditepi sungai itu kilat
menyambar disertai bunyi guruh yang menggelegar. Sesaat kemudian dia
melompat kedalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan
besar. pada saat yang sama, sungai itupun banjir besar dan turun pula
hujan yang sangat lebat.
Berselang beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap
kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak
Toba tidak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan
air. lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi
danau yang sangat besar yang kemudian hari dinamakan Danau Toba. Dan Pulau kecil ditengah-tengahnya diberinama pulau samosir.
RAWA PENING
Baru Klinting adalah seorang anak sakti yang hidup di sekitar Ambarawa.
Karena kesaktiannya, ia dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Kutukan
yang ia derita membuatnya memiliki luka dan borok yang tak pernah
sembuh-sembuh di sekujur tubuhnya. Luka yang berbau amis tersebut
segera basah dan mengeluarkan bau anyir lagi begitu akan mengering.
Akibat lukanya, ia dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
Seperti layaknya bocah, Baru Klinting juga gemar bermain. Ketika sedang
berjalan-jalan, ia bertemu dengan segerombolan anak-anak yang sedang
bermain. Ketika ia menawarkan diri untuk ikut permainan, anak-anak
tersebut tidak mengijinkannya lantaran baunya yang luar biasa amis. Tak
hanya itu, anak-anak tersebut mengata-ngatai dan menyumpahinya. Baru
Klinting sangat sedih dan pergi menjauh dari anak-anak tersebut. Dalam
perjalanannya, Baru Klinting merasa lapar. Ia bermaksud meminta makanan
kepada salah seorang penduduk desa. Satu persatu rumah penduduk desa
yang makmur tersebut ia ketuknya, namun tiada hasil. Bukan makanan yang
ia dapatkan melainkan sumpah serapah dan pengusiran. Semua rumah
penduduk tersebut tidak ada yang memberinya makanan.
Dalam
keadaan lapar dan letih, akhirnya sampailah ia ke rumah Nyai. Nyai
adalah seorang yang baik hati dan tidak sombong. Ia iba dengan keadaan
Baru Klinting yang lapar dan penuh luka tersebut. Baru Klinting pun
diberi makan oleh Nyai. Seusai makan, Baru Klinting merasa sangat
berterima kasih kepada Nyai. Akhir kata, ia berpamitan kepada Nyai.
Namun sebelum berpamitan, ia berpesan kepada Nyai bahwa jika mendengar
bunyi kentungan, harus segera naik ke atas perahu atau lesung. Nyai
mengiyakan pesan tersebut dan Baru Klinting pun pergi meninggalkan
rumah Nyai.
Dalam perjalanannya lagi, Baru Klinting kembali bertemu anak-anak yang
sedang bermain. Kembali, Baru Klinting ingin ikut serta dalam
permainan. Namun, kembali pula, Baru Klinting ditolak dan diusir. Tidak
hanya itu, sumpah serapah, hinaan, makian, dan ejekan serta caci maki
tak lepas dari mulut anak-anak tersebut. Anak-anak tersebut merasa
jijik akan tubuh Baru Klinting yang kotor, penuh luka basah dan berbau
amis tersebut. Kali ini, Baru Klinting sangat marah. Tidak, dia murka.
Dalam kemurkaannya, ia menancapkan sebatang lidi ke tanah dengan
kekuatannya. Ia bersumpah, bahwa tiada seorang pun yang akan sanggup
mencabut batang lidi tersebut selain dirinya. Penasaran akan
perkataannya tersebut, anak-anak pun berlomba-lomba mencabut lidi
tersebut. Satu persatu anak-anak tersebut mencoba namun tiada seorang
pun yang berhasil mencabut lidi tersebut. Ketika anak-anak tersebut
menyerah, giliran orang dewasa yang mencoba. Banyak orang dewasa yang
bertubuh besar dan kuat mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, tetap
lidi tersebut bergeming. Lidi tersebut tidak bisa dicabut sama sekali.
Dalam
keputusasannya, orang-orang tersebut menantang Baru Klinting untuk
mencabut lidi tersebut. Seperti mematahkan sebatang lidi, Baru Klinting
dapat dengan mudah mencabut lidi tersebut. Namun, dari bekas lubang
tancapan lidi tersebut, keluarlah air yang pertama-tama kecil namun
lama kelamaan menjadi besar dan deras. Penduduk pun panik dan berlarian
menyelamatkan diri. Kentungan pun dibunyikan sebagai tanda datangnya
bahaya. Nyai yang saat itu sedang menumbuk padi di atas lesung
mendengar bunyi kentungan. Nyai pun segera naik ke atas lesung. Air bah
tersebut segera merendam Desa Rawa Pening dan penduduknya yang sombong.
Tiada yang selamat selain Nyai dari desa tersebut. Nyai yang selamat
meneruskan kisah Baru Klinting kepada kenalan dan sanak saudaranya agar
mereka tetap menghormati Baru Klinting sebagai penjaga Rawa Pening.
Baru Klinting pun segera berubah menjadi ular dan hidup di dasar Danau
Rawa Pening untuk menjaga kawasan tersebut. Inilah legenda terbentuknya
Rawa Pening yang telah diceritakan turun temurun dan menjadi legenda di
wilayah Semarang. Legenda ini diyakini benar adanya terutama karena
sejumlah nelayan yang mencari ikan dan pemanen eceng gondok pernah
melihat sebentuk hewan berwarna kuning dengan panjang sekitar 50 meter
berenang di danau ini. Apakah hewan tersebut benar ada? Apaah itu
benar-benar penjelmaan dari Baru Klinting? Ataukah itu hanya
fatamorgana dan sugesti saja? Biarkanlah legenda tetap menjadi legenda
yang hidup di kawasan Semarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar