Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan

Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima
sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa
pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang
terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan
Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal
12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus
ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda
yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi,
Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS
Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat
dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942,
ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan
mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat
akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan
Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam
perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting
sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan
konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan
Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone
Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi
sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang
memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember
1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder
Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air
menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena
tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke
Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir
itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena
tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang
menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan
Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling
sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia
diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan
menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang
dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog
Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen
proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila”
muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang
negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di
mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan
dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis
dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara
Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M
Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir,
dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi
usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada
pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta
Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri
Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara
terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses
selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan
Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar
matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih,
dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS
Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk
keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka
bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah
pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang
negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada
Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat
masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya
keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia
yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara
yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada
Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo
dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah
ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II
akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu
gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan
“tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan
anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian
dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya
lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada
15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus
diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul”
menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita
dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga
diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950,
bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat
disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis
istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk
final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan
secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan
bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran
dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya
diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974
Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun
1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan
Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar
lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari
1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid
II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman
Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis
demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan
bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid
II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk
mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu
Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah
ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak,
merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk
mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum
Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan
Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan
penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia
berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999.
“Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga
sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,”
katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia
kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut,
demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke
Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD
Provinsi Kal-Bar.
Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945

Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan
memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja,
mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani,
pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa
mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan
peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah.
Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata,
mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta
nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka
rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.
Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di
sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta
tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman
tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda (
NICA ).
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan
Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan
perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu
ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik,
bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan
menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas
Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan
Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru
mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia.
Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran.
Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR
Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari
kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil
menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa
tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh
pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada
saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar
Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur.
Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman
merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan
untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas
baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga,
Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah
tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja
dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara
lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu
mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup
ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia
pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat
dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember
1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar
di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa
dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung
sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan
taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh
benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya
terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15
Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut
Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak
Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce
struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand,
Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi
dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the
road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken
place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from
where the fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen
Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau
Hari Juang Kartika.
Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah
bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri
bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.
(Sumber: wikipedia indonesia, swaramuslim.com)
Menelusuri Jejak Imigran Jawa di Suriname
Wajah Sidin pada pas foto di surat kesehatannya terlihat gagah.
Pemuda asal Pekalongan itu menggunakan ikat kepala kain khas pemuda
daerah pesisir Jawa, tidak berbaju dan bercelana putih.
Dalam foto tahun 1908 yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk
pelengkap surat kesehatan sebagai syarat mengiriman Sidin ke Suriname
itu dia berpose duduk santai dengan tangan di atas paha.
Bagi cucu Sidin, foto itu mempunyai arti penting dan bersejarah.
Maurit S Hassankhan/Sandew Hira memuat foto Sidin itu dalam buku
Historische Database Van Suriname, Gegevens Over de Javaanse
Immigranten (Data Sejarah Suriname, Data Imigrasi Orang Jawa) yaitu
buku yang berisi data para imigran Jawa ke Suriname.
Buku yang terbit atas gagasan Amrit Consultancy dan Institut Riset Ilmu
Sosial Universitas Suriname itu secara menakjubkan berhasil memuat
lengkap data menyangkut 32.965 orang Jawa yang 114 tahun lalu menjadi
pekerja dan bermigrasi ke Suriname.
Dalam rencana semula buku itu sebenarnya untuk memuat data imigran
Hindustani ke Suriname, namun saat proyek berjalan muncul ide untuk
memasukkan pula data jati diri orang-orang Jawa yang dikirim pemerintah
Kolonial Belanda ke daerah jajahannya, Suriname, sejak 9 Agustus 1890
hingga 13 Desember 1939.
Pada periode itu terdapat 32.965 orang Jawa yang di kirim ke Suriname, suatu negara koloni kecil di Amerika Selatan.
Para pekerja asal Jawa itu pada 1890-1914 di berangkatkan dari Jawa
dalam kelompok-kelompok kecil dari daerah pemberangkatan mereka dari
Jakarta (Batavia) dan Semarang.
Di suriname mereka dipekerjakan di ladang dan pabrik perkebunan
tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Hanya pada angkatan ke 77 pada tahun
1904 mereka dipekerjakan dalam pembuatan jalan kereta api.
Selama perang Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname.
Dalam data yang tercantum pada buku itu dimuat nama imigran, nama
orang tua, jenis kelamin, usia saat diberangkatkan, hubungan keluarga
dengan pekerja lainnya, tinggi badan, agama (semua disebutkan Islam),
tempat tinggal terakhir, tempat keberangkatan, tanggal tiba di
Suriname, lembaga perekrut, perusahaan yang mempekerjakan, daerah
tempat bekerja di Suriname, nomer kontrak dan keterangan perubahan jika
ada.
Mereka dikontrak untuk bekerja selama lima tahun, tetapi
kenyataannya sebagian besar dari mereka terpaksa bekerja seumur
hidupnya.
Dalam buku itu disebutkan hingga pada tahun 1954 sekitar 8.684 (26
persen)imigran tersebut sudah dikembalikan ke kampung halaman
masing-masing.
Mereka yang ingin tinggal menjadikan Suriname sebagai kampung
halaman, tetapi disebutkan pula ada sebagian orang yang memilih menjadi
warga negara Belanda ketika Suriname menjelang merdeka (1965) karena
ingin mendapatkan tunjangan sosial.
Kisah Suwarto Mustaja, tokoh masyarakat Jawa Suriname, bisa menjadi contoh.
Suwarto salah seorang keturunan para imigran Jawa pada saat muda gigih
berjuang bersama orang tua dan masyarakat Jawa lainnya untuk
mendapatkan hak mereka agar bisa dikembalikan ke Indonesia, tetapi
ketika pemerintah Belanda mengijinkan mereka pulang, ibunya justru
menangis dan memilih untuk tetap tinggal di Suriname.
“Di sini kamu (Suwarto) lahir dan di sini aku akan tinggal,” kata Ibu Suwarto dengan linangan air mata.
Dengan berat hati Suwarto muda akhirnya memilih untuk tetap tinggal
di Suriname, meskipun bapaknya mendesaknya agar kembali ke Indonesia.
Meski pahit hidup di perkebunan di Suriname, terpaksa mereka terima apa adanya.
Kini keturunan mereka tidak lagi bekerja di perkebunan milik
perusahaan Belanda seperti orang tuanya karena perusahaan perkebunan
Belanda sudah tutup atau bangkrut.
Sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan ‘kebebasan’ itu beralih
profesi menjadi pedagang dan ternyata meraih sukses, bahkan ada yang
mampu mendapat pemasukan bersih US$20.000 per bulan seperti yang
dialami Wilem Sugiono.
Tetapi, ada banyak pula bekas imigran dan keturunannya yang masih
tetap berladang di tanah seluas 1,25 hektar dengan beragam tanaman.
Jenifer, ibu seorang anak relatif beruntung dibandingkan keturunan imigran Jawa lainnya.
Perempuan yang bersuamikan pria bernama Azis itu mengelola kafe kecil di samping hotel meiliknya.
“Saya hanya bisa sedikit berbahasa Jawa,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Di samping bahasa Inggris, dia juga fasih berbahasa Belanda, sebagaimana sebagian besar orang keturunan Jawa lainnya.
Dengan memiliki hotel berbintang dua, cafe dan kompleks perbelanjaan dia terlihat hidup nyaman di Paramaribo, ibukota Suriname.
Paramaribo adalah kota kecil, dibandingkan kota di Indonesia, tetapi
kota itu terlihat eksotik dengan gedung-gedung peninggalan Belanda yang
memenuhi kota.
Tonggak hubungan
Kedubes RI di kota itu sejak 1980 hingga sekarang berusaha menjaga
hubungan baik dengan Suriname, terutama dengan warga Jawa dan
keturunannya yang kini berjumlah 74.760 (17,8%) dari 481.146 penduduk
Suriname.
Tonggak hubungan baik itu terlihat pada pendirian Gedung Sono Budoyo
pada 1990 yang mendapat bantuan dari Soeharto, Persiden RI pada masa
itu.
Gedung disertai sebuah tugu yang dibangun pada tahun 1990 itu sekaligus
untuk memperingati 100 tahun kedatangan orang Jawa di Suriname.
Pada tahun 2005, di suriname akan diadakan peringatan tahun ke-115
kedatangan orang Jawa di negara yang merdeka pada 25 November 1975 itu.
Pemerintah Indonesia dan Suriname melanjutkan tradisi bersahabat dengan
mengadakan sejumlah pertemuan, diantaranya pertemuan Komisi Bersama
Bilateral I RI-Suriname yang berlangsung di Paramaribo pada 03-05 April
2003.
Pada 22 November 2004 diadakan sidang lanjutan di Jogjakarta. Pada
pertemuan kedua itu disepakati adanya sejumlah kegiatan diantaranya
pelatihan di bidang otomotif bagi warga Suriname yang akan dilaksanakan
di Indonesia pada 2005.
Indonesia juga akan mengundang pembicara dari Suriname untuk membahas
peringatan 115 tahun imigrasi orang Jawa ke Suriname dan 100 tahun
pelaksanaan transmigrasi di Indonesia.
Dalam pertemuan Direktur Pemukiman Kembali Ditjen Mobilitas Penduduk
Depnakertrans Sugiarto Sumas dengan Menteri Perencanaan dan Kerjasama
Pembangunan Suriname Keremchand Raghoebarshing dan Menteri Perburuhan,
Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Clifford Marica di Paramaribo
terungkap keinginan kedua pihak untuk mengadakan lebih banyak kegiatan.
Diantaranya, pengiriman tenaga ahli dari Indonesia untuk melatih tenaga
Suriname di berbagai bidang diantaranya pertanian, pariwisata,
agribisnis, agroindustri dan pengelolaan hutan.
Suriname juga sangat berminat untuk mempelajari cara Indonesia
mengembangkan daerah produktif baru untuk perkebunan atau pengembangan
suatu wilayah.
Komisi bersama, sebenarnya sudah membahas berbagai bidang kerja sama
kedua negara, seperti pertukaran pengalaman pembangunan nasional,
meningkatkan perdagangan kedua negara, investasi, angkutan udara,
turisme, kerja sama di bidang teknis, bantuan di bidang pelatihan,
pendidikan, beasiswa non geloar, kerja sama di bidang komunikasi dan
informasi, pencegahan kejahatan, pertahanan, dan sejumlah isu lainnya.
Kerinduan para imigran dan keturunannya akan budaya Jawa juga
terungkap dalam pertemuan masyarakat keturunan imigran Jawa dengan
Dubes RI Suparmin Sunjoyo dan Sugiarto Sumas di Distrik Wanica, dekat
dari Paramaribo.
Sarmo, seorang warga keturunan Jawa pada kesempatan itu mendesak agar
Indonesia segera megirim Guru Bahasa Jawa, Dalang, dan pengajar tari
untuk mereka.
Dia juga mengharapkan Indonesia bisa mengirim pakar pertanian.
Sementara keluarga imigran lainnya menagih janji pengiriman guru pencak
silat.
Suparmin menjawabnya dengan simpati.
“Saya sudah bertemu dengan Sultan HB X, beliau menyangupi untuk
mengirim guru bahasa Jawa, dalang dan guru tari. Jadi, saya sudah
berusaha mewudjukan keinginan tersebut sebelum Pak Sarmo memintanya,”
kata Suparmin lalu disambut tepuk tangan hadirin.
Mengenai, permintaan guru pencak silat, Dubes juga sudah
membicarakannya dengan Prabowo, tokoh pencak silat Indonesia, sedangkan
untuk penyediaan tenaga ahli pertanian, Suparmin akan membicarakannya
dalam pertemuan lanjutan ketiga Komisi Bersama kedua negara dalam waktu
dekat.
Interaksi Indonesia dan Suriname bisa tergambar pada antusiasme dan
desakan Sarmo dan kawan-kawan akan peningkatan keterlibatan Indonesia
dalam sendi-sendi kehidupan mereka.
“Indonesia adalah saudara kulo. Negara mbah kulo,” kata Sarmo.
Sarmo dan kawan-kawan memang “saudara” bagi orang Indonesia, meski berlainan kewarganegaraan.
(Sumber: selokartojaya.blogspot.com)
Penjajahan Jepang di Indonesia
* 8 Maret 1942 Jepang mendarat di Kalimantan untuk menguasai sumber minyak mentah
* Tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang. Penyerahan di Kalijati, Subang, Jabar.
* Pihak Belanda:Letjen Ter Porten
* Pihak Jepang Letjen Hitoshi Imamura
* Saat dikuasai Jepang Indonesia dibagi dua:
1) P. Jawa dan Sumatra di bawah komando angkatan darat, berpusat di Jakarta
2) Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku di bawah Komando Angkatan Laut yang berpusat
di Ujung Pandang
*Propaganda Jepang:
1) Gerakan 3A:
Jepang pemimpin asia
Jepang pelindung asia
Jepang cahaya asia
2) Jepang adalah saudara tua Indonesia
3) Jepang membentuk Putera
4) Jepang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan
*Indonesia dimasukkan dalam kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya,
dibawah kepemimpinan Jepang.
*Tujuan Kedatangan Jepang ke Indonesia:
1. Menguasai wilayah Indonesia. Bukti:
1.1 Ind dijadikan sbg sumber bahan mentah
1.2 Romusha
1.3 Semua kegiatan Parpol dilarang
2. Tentara pendudukan Jepang melakukan pemerasan ekonomi:
2.1 Petani wajib menyetorkan hasil panen padi, jagung, dan ternak
2.2 Petani wajib menanam jarak untuk pelumas senjata
2.3 Hutan-hutan ditebang untuk kebutuhan industri
2.4 hasil perkebunan harus disetor pada Jepang
2.5 penyerahan besi atau logam untuk kebutuhan industri senjata
3. Pemuda-pemuda Indonesia dikerahkan untuk romusha (kerja paksa)
4. Jepang membentuk organisasi semi militer dan militer penuh
4.1 Semi militer:
a. Seinendan, 29 April 1943
Tujuan: mendidik dan melatih pemuda Indonesia untuk
mempertahankan Indonesia dengan kekuatan sendiri
b. Keibodan, 29 April 1943, Barisan pembantu Polisi
c. Fujinkai, Agustus 1943, Himpunan Wanita
Wanita usia >15 th dilatih militer
d. Jawa Hokokai, 1944, dibentuk Jend. Kumkici Harada
4.2 Militer Penuh:
a. Peta, 3 Oktober 1943
b. Heiho, April 1943, pembantu prajurit Jepang
Perlawanan rakyat:
* 7 September 1944, Janji Koiso
*Persiapan Indonesia merdeka:
1. Jend. Kumakici Harada membentuk BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Coosakai
Ketua: Dr. Rajiman Widyodiningrat
2. BPUPKI bertugas menyusun dasar negara dan UUD
Sidang I, 1 Juni 1945.
- Ir. Soekarno, Moh. Yamin, dan Supomo tampil mengajukan gagasan.
- Ir. Soekarni-->pidato mengenai 5 asas negara [Pancasila]
3. 10 Juli 1945
Panitia Kecil BPUPKI berhasil merumuskan dasar negara dan membahas perumusan UUD
4. 11 Juli 1945
Panitia perancang UUD sepakat menjadikan PIagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD
5. Tanggal 14 Juli 1945, Panitia Kecil BPUPKI, dipimpin Supomo melaporkan hasil
Panitia Perancang UUD yang terdiri dari pernyataan kemerdekaan, pembukaan UUD, dan
batang tubuh.
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PENJAJAHAN BELANDA
Masa
pendudukan Jepang di Indonesia adalah masa yang sangat berpengaruh bagi
perkembangan Indonesia. Umumnya beranggapan bahwa masa pendudukan
Jepang adalah masa-masa yang kelam dan penuh penderitaan. Akan tetapi
tidak semuanya itu benar, ada beberapa kebijakan pemerintah pendudukan
Jepang yang memberikan dampak positif, terutama dalam pembentukan
nasionalisme Indonesia dan pelatihan militer bagi pemuda Indonesia.
Dalam masa pendudukan Jepang yang singkat itu telah membawa dampak
positif dan juga dampak negatif bagi bangsa Indonesia pada umumnya.
Dampak Positif Pendudukan Jepang
Tidak banyak yang mengetahui tentang dampak positifnya Jepang menduduki
Indonesia. Ada pun dampak positif yang dapat dihadirkan antara lain:
- Diperbolehkannya
bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa komunikasi nasional dan
menyebabkan bahasa Indonesia mengukuhkan diri sebagai bahasa nasional.
- Jepang
mendukung semangat anti-Belanda, sehingga mau tak mau ikut mendukung
semangat nasionalisme Indonesia. Antara lain menolak pengaruh-pengaruh
Belanda, misalnya perubahan nama Batavia menjadi Jakarta.
- Untuk
mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang mendekati pemimpin
nasional Indonesia seperti Sukarno dengan harapan agar Sukarno mau
membantu Jepang memobilisasi rakyat Indonesia. Pengakuan Jepang ini
mengukuhkan posisi para pemimpin nasional Indonesia dan memberikan
mereka kesempatan memimpin rakyatnya.
- Dalam bidang ekonomi didirikannya kumyai yaitu koperasi yang bertujuan untuk kepentingan bersama.
- Mendirikan sekolah-sekolah seperti SD 6 tahun, SMP 9 tahun, dan SLTA.
- Pembentukan strata masyarakat hingga tingkat paling bawah yaitu rukun tetangga (RT) atau Tonarigumi.
- Diperkenalkan suatu sistem baru bagi pertanian yaitu line system (sistem pengaturan bercocok tanam secara efisien) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan.
- Dibentuknya BPUPKI dan PPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Dari sini muncullah ide Pancasila.
- Jepang
dengan terprogram melatih dan mempersenjatai pemuda-pemuda Indonesia
demi kepentingan Jepang pada awalnya. Namun oleh pemuda hal ini
dijadikan modal untuk berperang yang dikemudian hari digunakan untuk
menghadapi kembalinya pemerintah kolonial Belanda.
- Dalam pendidikan dikenalkannya sistem Nippon-sentris dan diperkenalkannya kegiatan upacara dalam sekolah.
Dampak Negatif Pendudukan Jepang
Selain dampak positifnya tadi diatas, Jepang juga membawa dampak negatif yang luar biasa antara lain :
- Penghapusan
semua organisasi politik dan pranata sosial warisan Hindia Belanda yang
sebenarnya banyak diantaranya yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan warga.
- Romusha, mobilisasi rakyat Indonesia (terutama warga Jawa) untuk kerja paksa dalam kondisi yang tidak manusiawi.
- Penghimpunan
segala sumber daya seperti sandang, pangan, logam, dan minyak demi
kepentingan perang. Akibatnya beras dan berbagai bahan pangan petani
dirampas Jepang sehingga banyak rakyat yang menderita kelaparan.
- Krisis
ekonomi yang sangat parah. Hal ini karena dicetaknnya uang pendudukan
secara besar-besaran sehingga menyebabkan terjadinya inflasi.
- Kebijakan self sufficiency (kawasan mandiri) yang menyebabkan terputusnya hubungan ekonomi antar daerah.
- Kebijakan
fasis pemerintah militer Jepang yang menyebar polisi khusus dan
intelijen di kalangan rakyat sehingga menimbulkan ketakutan. Pemerintah
Jepang bebas melanggar hak asasi manusia dengan menginterogasi,
menangkap, bahkan menghukum mati siapa saja yang dicurigai atau dituduh
sebagai mata-mata atau anti-Jepang tanpa proses pengadilan.
- Pembatasan pers sehingga tidak ada pers yang independen, semuanya di bawah pengawasan Jepang.
- Terjadinya kekacauan situasi dan kondisi keamanan yang parah seperti maraknya perampokan, pemerkosaan dan lain-lain.
- Pelarangan terhadap buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris yang menyebabkan pendidikan yang lebih tinggi terasa mustahil.
- Banyak
guru-guru yang dipekerjakan sebagai pejabat-pejabat pada masa itu yang
menyebabkan kemunduran standar pendidikan secara tajam.
PENJAJAHAN BELANDA DI INDONESIA
Belanda Mendirikan VOC di Indonesia
Tahun 1596, Cornelis de Houtman beserta rombongan berhasil mencapai Banten, dekat
Jakarta. Mereka kemudian juga berhasil mendarat di Maluku. Belanda lalu mendirikan kantor
dagang di Batavia (Jakarta). Pada tahun 1602 para pedagang Belanda membentuk Vereenigde
Oost Indische Compagnic (VOC) artinya Perserikatan Maskapai Hindia Timur. VOC dipimpin oleh
seorang gubernur jenderal. VOC mempunyai beberapa hak di antaranya:
a. Hak melakukan monopoli perdagangan di daerah yang ditempati.
b. Membentuk tentara sendiri, mengangkat pegawai, dan membentuk pengadilan.
c. Melakukan perjanjian politik dan ekonomi dengan kerajaan-kerajaan, serta melakukan
perang atau damai dengan bangsa/suatu kerajaan lain.
d. Hak mencetak mata uang sendiri.
b. Belanda Menguasai berbagai Kerajaan dengan Politik Adu Domba
Pada masa kedatangan Belanda, di Indonesia masih tumbuh kerajaan-kerajaan Islam.
Di Jawa terdapat kerajaan Demak, Banten, Cirebon, dan Mataram. Di Sumatera terdapat
Kerajaan Aceh yang sangat besar, di Sulawesi ada Goa dan Talo, dan di Kalimantan terdapat
Kerajaan Banjar. Belanda berusaha mengadu domba kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia.
Caranya, satu per satu kerajaan didekati agar mau memberikan hak monopoli perdagangan
kepada Belanda (VOC). Belanda menginginkan agar rakyat Indonesia menjual hasil bumi
kepada Belanda saja. Belanda membelinya dengan harga murah sehingga mereka akan
mendapat banyak keuntungan ketika dijual di Eropa.
Tidak semua kerajaan di Indonesia bersedia mengikuti keinginan Belanda. Kerajaan
yang telah hafal dengan sifat Belanda, menolak kerja sama dengan Belanda. Tetapi kerajaan
yang belum memahami sifat Belanda, berhasil dibujuk Belanda untuk bekerja sama. Strategi
yang paling terkenal Belanda dalam menaklukkan kerajaan-kerajaan di Indonesia adalah politik
adu domba. Dalam bahasa Belanda politik ini dikenal dengan nama politik devide et impera.
Belanda melibatkan diri dalam urusan-urusan kerajaan di Indonesia. Ketika terjadi konflik
dalam kerajaan, Belanda mendukung salah satu kerajaan. Belanda mendukungnya hingga
akhirnya menang. Setelah menang, Belanda menguasai kerajaan tersebut. Akhirnya satu per
satu kerajaan di Indonesia berhasil dikuasai Belanda.
Di Maluku, VOC melakukan operasi pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah pelayaran
yang menggunakan perahu bercadik serta bersenjata lengkap. Pelayaran ini bertujuan
mengawasi pohon rempah-rempah yang ditanam rakyat. Belanda mencegah pedagang atau
masyarakat lokal berhubungan dagang dengan bangsa lain selain bangsa Belanda. Bahkan
Belanda sering menghancurkan tanaman rempah-rempah rakyat Maluku. Tanaman dihancurkan
karena dianggap Belanda terlalu banyak. Apabila tanaman terlalu banyak, Belanda khawatir
harga akan turun.
Persekutuan dagang Hindia Belanda (VOC) bangkrut pada tahun 1799. Hal ini
disebabkan oleh korupsi yang dilakukan para pegawai VOC. Pada akhir tahun 1799, VOC
dibubarkan. Lalu pada tahun 1800 Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan VOC di
Indonesia. Sejak masa itu, secara resmi Indonesia di bawah pemerintah Belanda. Indonesia
menjadi semacam provinsi dari negara Belanda. Padahal luas negara Belanda jauh lebih kecil
dibanding luas Indonesia. Dengan menjajah Indonesia, negara Belanda menjadi semakin kaya
raya. Tetapi bangsa kita semakin miskin dan sengsara. c. Mendirikan Pemerintah Hindia Belanda
Mulai tanggal 1 Januari 1800, Indonesia secara resmi diperintah oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Kerajaan Belanda membentuk pemerintahan kolonial yang disebut Hindia Belanda
(Nederlands Indie). Indonesia (Hindia Belanda) diperintah/dikepalai seorang gubernur jenderal.
Sejak saat itu Indonesia secara resmi diperintah dari negeri Belanda.
DAMPAK NEGATIF DAN POSITIF
dampak positif bagi Indonesia adalah yang pertama dapat kita rasakan
adalah sarana dan prasarana yang telah dibuat pada zaman kolonialisme
sebagai contoh jalan raya Anyer – Panarukan yang dibuat pada zaman
pemerintahan Daendles, walaupun menimbulkan banyak korban bangsa
Indonesia, tetapi manfaatnya masih dapat kita rasakan, bangunan –
bangunan sebagai objek pariwisata, rel – rel kereta api, timbulnya kaum
intelek. tetapi daripada itu terdapat dampak – dampak negatifnya tidak
kalah banyaknya dengan dampak positifnya. dampak negatifnya adalah,
keterbelakangan mental, pendidikan, ekonomi, dan masih tidak dapat kami
jelaskan satu – satu, pada pembuatan jalan raya Anyer – Panarukan,
menimbulkan banyak korban karena dipaksa kerja rodi.
dampak positif penjajahan portugis, dampak positif dan negatif dari
kebijakan kolonial belanda, dampak penjajahan inggris di indonesia
dalam berbagai bidang, Dampak VOC terhadap Indonesia, dampak penjajahan
dari belanda dalam ekonomi, dampak kolonialisme, akibat positif dan
negatif dalam tanam paksa bangsa asing, dampak positif dan negatif
terhadap kehidupan budaya kolonialisme, dampak negatif bagi Indonesia
pada masa kerja rodi, bentuk bentuk penjajahan suatu bangsa terhadap
bangsa lain dalam bidang ekonomi politik kebudayaan, dampak positif
dari pengaruh kolonialisme dan imperialisme terhadap bangsa indonesia,
akibat positif dan negatif bangsa asing dalam tanam paksa, dampak
positif dari kebijakan VOC, dampak negatif kolonialisme dan
imperialisme di bidang politik, kebijakan Rafles di bidang politik,
dampak tanam paksa bagi belanda, dapak negatif tanam paksa bagi rakyat,
hak istimewa raffles, hak istimewa thomas stamford raffles bidang
ekonomi, dampak positif rakyat indonesia pada politik etis, dampak
positif imperialisme, dampak positif kebijakan raffles, dampak positif
kolonialisme, dampak positif kolonialisme dan imperialisme barat,
dampak positif kolonialisme dan imperialisme di bidang politik, dampak
positif kolonialisme dan imperialisme di indonesia, dampak positif
kolonialisme di indonesia, dampak positif kolonialisme peradaban barat
di indonesia, dampak positif penjajahan inggris di indonesia,
kolonialisme dan imperialisme barat zaman sekarang, lahir penjajahan
indonesia raffles, pelaksanaan tanam paksa, penjajahan bangsa portugis
di indonesia dalam berbagai bidang, penjajahan bangsa prancis dan
dampaknya, penjajahan bangsa prancis di indonesia dan pengaruhnya dalam
berbagai bentuk, penjajahan inggris di indonesia dan dampaknya di
berbagai berbagai bidang, Sisi positif Kebijakan ekonomi Raffles di
Indonesia, Sisi positif semasa VOC di Indonesia, sistem pengerukan
belanda, skripsi penjajahan indonesia daendels, tokoh bangsa asing yg
melakukan raffles di nusantara, tujuan kebijakan ekonomi Raffles,
penjajahan bangsa portugis dan dampaknya dalam segala bidang,
penjajahan bangsa portugis dan dampaknya, penjajahan bangsa belanda dan
dampaknya dalam segala bidang, pembentukan voc, Pengaruh kebijakan
kolonial Belanda, pengaruh kebijakan kolonial belanda dan inggris di
bidang politik, pengaruh kebijakan Rafles, Pengaruh Kebijakan Thomas
Stamford Raffles bagi rakyat, pengaruh kebijakan VOC, pengaruh
kolonialisme dan imperialisme barat di bidang politik, pengaruh
kolonialisme dan imperialisme di indonesia, pengaruh kolonialisme dan
imperialisme terhadap bangsa indonesia, penjajah bangsa portugis dan
belanda dan dampaknya dalam berbagai bidang, VOC di bidang ekonomi,
dampak positif dari tanam paksa, Akibat dari Kolonialisme, DAMPAK
EKONOMI ZAMAN KOLONIAL DI INDONESIA, dampak kebijakan ekonomi kolonial
di indonesia, Dampak Kebijakan Thomas Stamford Raffles di Indonesia,
Dampak kolonialisme dan Imperialisme, dampak kolonialisme dan
imperialisme BARAT DI BIDANG POLITIK, dampak kolonialisme dan
imperialisme barat di nusantara, dampak kolonialisme dan imperialisme
di bidang budaya di indonesia, dampak kolonialisme dan imperialisme di
bidang politik, dampak kolonialisme dan imperialisme di indonesia di
bidang ekonomi, dampak ekonomi dari penjajahan belanda, dampak ekonomi
dari kolonial, akibat kolonialisme dan imperialisme di bidang ekonomi,
akibat negatif dari kerja rodi bagi bangsa pribumi pada masa daendels,
akibat positif dan negatif bagi pribumi pada masa penjajahan raffles,
akibat positif dan negatif dari pelaksanaan kolonial di indonesia,
akibat positif dan negatif penjajahan daendels bagi rakyat indonesia,
bentuk-bentuk dampak positif dan negatif dari sikap raffles,
bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme barat pada masa sekarang,
dampak /akibat dari konolisme & impralisme di bidang politik,
dampak akibat kolonialisme dan imperialisme bidang budaya, dampak
kolonialisme di bidang politik, dampak negatif dan positif adanya
kolonial indonesia, dampak positif dan negatif dari pemerintahan
deandles, Dampak positif dan negatif kolonial belanda, dampak positif
dan negatif pendudukan belanda, dampak positif dan negatif penjajahan
belanda di indonesia, dampak positif dan negatif penjajahan daendels,
dampak positif dan negatif politik akibat kolonialisme dan imperialisme
di nusantara, dampak positif dan negatif setelah penjajahan di
Indonesia, dampak positif dan negatif tanam paksa, dampak positif dan
negatif tanam paksa bagi indonesia, dampak positif dan negatif bagi
pribumi pada masa penjajahan raffles, dampak positif budaya
kolonialisme, dampak negatif dan positif bangsa asing ke nusantara,
dampak negatif dan positif pemerintahan daendels, dampak negatif dan
positif penjajahan di Indonesia Eropa dan jepang, dampak negatif dari
kebijakan pada masa daendels, dampak negatif kolonialisme terhadap
kehidupan ekonomi, dampak negatif penjajahan voc terhadap indonesia,
dampak pemerintahan daendels bagi indonesia, dampak penjajahan inggris,
dampak penjajahan inggris dalam berbagai bidang